Monday, August 22, 2016

Antara Logika dan Rasa

Image background by: pexel.com



Perbedaan, salah satu hal krusial yang membuat kehidupan ini eksis. Perbedaan cara pandang tentang hubungan juga jadi alasan kenapa posting ini bisa muncul. Sang perempuan berdalih rasa miliknya jadi senjata andalannya. Well, said...febyar.blogspot.co.id. Let's get started and end this.  

Entah sampai kapan masalah tentang logika dan perasaan ini bisa berakhir dengan manis. Mungkin sampai salah satu dari keduanya mengecap betapa sulitnya berdiri dengan satu tumpuan. Berjalan dengan dua kaki saja kadang aku merasa begitu penat. Mereka berpikir seluruh perasaan kami dikuasai oleh logika, akal-akalan taktis dan enggan mengerti tumbuh dewasa bersama dengan merasa. Ya, merasa dengannya—hati. Di mata kalian mungkin kami hanya pribadi yang kosong, sebuah robot berdaging tanpa apa yang kalian sering teriakan atas nama perasaan.
 
Tapi kalian butuh robot itu, kan?

Pernah dengar soal pertukaran energi antara sepasang kekasih yang saling mencinta? Kedengarannya sih konyol, inti konsepnya gini: saat sang pria adalah seorang yang kuat, si wanita adalah sumber kelemahannya. Begitu juga kebalikannya, saat wanita merasa lemah alasannya menjadi lebih tegar adalah sang pria.

Aku tau kadang kita bertengkar untuk alasan yang sepele. Terlalu sering.

Kita saling memaki, bahkan melontarkan kalimat benci, menuntut satu sama lain untuk selalu lebih dan lebih. Menurutmu hampir sekian banyak masalah dalam hubungan ini adalah ulahku, akulah badainya. Itulah alasanku tak membiarkan hati terlalu mendominasi, mereka terkadang menghakimi. Kadang kita dibuat lupa kalau badai adalah cara alam mengajarkan kedewasaan untuk sang kapal, untuk mereka yang hidup di dalamnya.

“Aku sayang kamu,” adalah ungkapan paling gamblang untuk buatmu terjatuh. Setelah itu, kalian mulai mencari kemana perginya kalimat tersebut setelah sekian lama bersama? Benar, kan?

Lalu perlahan kalian mulai skeptis akan apa yang terjadi dengan kami. Saat itulah kalian mulai menebak-nebak, melakukan hal yang sedikit di luar nalar kami (kalian sebut saja apa). Sedangkan kami mulai belajar bagaimana mencerna sebuah kalimat penuh rasa menjadi tindakan nyata. Kami mulai jarang mengatakannya, bukan berarti kami lupa makna kata tersebut.

Semakin lama saat kami butuh ruang. Kalian semakin takut kehilangan. Takut-takut kalau ruang yang kami cari adalah hati milik orang. Lagi-lagi harus kukatakan, “bukan, sayang.”

Jelas aku paham takut adalah cara kalian menginterpretasikan sebuah perhatian, cara paling klasik No. 2 untuk bertutur sayang. Sebenarnya kita sudah sejalan, kan? Cuma berbeda pemikiran. Dan lagi kita harus kembali ke topik saat kalian mengedepankan perasaan dan kami mendahulukan pemikiran. Bukan berarti dalam hubungan ini kalian nggak berpikir lho.

Semua ini memang nggak akan pernah ada habisnya. Kenapa?

Karena logika dan perasaan punya tempat masing-masing. Karena perhitungan nggak akan pernah sanggup menjabarkan betapa rumitnya sebuah rasa. Karena merasa adalah satu dari sekian banyak hal yang paling sulit untuk manusia palsukan.

Jadi, logika dan perasaan mungkin adalah seteru abadi. Dan aku bisa seharian duduk di kursiku hanya untuk menulis plus-minus mereka, dan mencari-cari mana kurang-lebihnya hubungan kita. Tapi perlahan tanpa perlu kita merasa kehilangan, sudah seharusnya kita berjalan berdampingan. Karena kehilangan akan menghasilkan penyesalan yang membuat….kata dan usaha tak lagi bermakna. Sejenak, membuat air mata menjadi cara kalian berbicara, dan membuat kami diam tanpa makna. Percayalah, air mata adalah satu dari sekian banyak hal yang paling kami takuti dalam sebuah hubungan.


Ini semua tentang kita, kuasumsikan mirip pelangi yang muncul setelah proses panjang hujan selesai. Bagaimana rintik air yang masih tersisa banyak di atas sana membias saat bertemu cahaya. Aku tak berharap atau menuntutmu jadi pelangi. Mereka cuma sesaat, dan tak mampu menunjukan keindahannya di malam gelap. Tirulah mentari sejauh apapun bumi berpaling, segelap apapun sisi yang tak mampu kau raih, cahayanya akan tetap tersampaikan walau kadang dengan cara yang menyakitkan.






Image background by: pexel.com

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.