Antara Logika dan Rasa
Perbedaan, salah satu hal krusial yang membuat kehidupan ini eksis. Perbedaan cara pandang tentang hubungan juga jadi alasan kenapa posting ini bisa muncul. Sang perempuan berdalih rasa miliknya jadi senjata andalannya. Well, said...febyar.blogspot.co.id. Let's get started and end this.
Entah sampai kapan masalah tentang logika dan perasaan ini bisa berakhir dengan manis. Mungkin sampai salah satu dari keduanya mengecap betapa sulitnya berdiri dengan satu tumpuan. Berjalan dengan dua kaki saja kadang aku merasa begitu penat. Mereka berpikir seluruh perasaan kami dikuasai oleh logika, akal-akalan taktis dan enggan mengerti tumbuh dewasa bersama dengan merasa. Ya, merasa dengannya—hati. Di mata kalian mungkin kami hanya pribadi yang kosong, sebuah robot berdaging tanpa apa yang kalian sering teriakan atas nama perasaan.
Tapi
kalian butuh robot itu, kan?
Pernah
dengar soal pertukaran energi antara sepasang kekasih yang saling mencinta?
Kedengarannya sih konyol, inti konsepnya gini: saat sang pria adalah seorang
yang kuat, si wanita adalah sumber kelemahannya. Begitu juga kebalikannya, saat
wanita merasa lemah alasannya menjadi lebih tegar adalah sang pria.
Aku
tau kadang kita bertengkar untuk alasan yang sepele. Terlalu sering.
Kita
saling memaki, bahkan melontarkan kalimat benci, menuntut satu sama lain untuk
selalu lebih dan lebih. Menurutmu hampir sekian banyak masalah dalam hubungan
ini adalah ulahku, akulah badainya. Itulah alasanku tak membiarkan hati terlalu
mendominasi, mereka terkadang menghakimi.
Kadang kita dibuat lupa kalau badai adalah cara alam mengajarkan kedewasaan
untuk sang kapal, untuk mereka yang hidup di dalamnya.
“Aku
sayang kamu,” adalah ungkapan paling gamblang untuk buatmu terjatuh. Setelah
itu, kalian mulai mencari kemana perginya kalimat tersebut setelah sekian lama
bersama? Benar, kan?
Lalu
perlahan kalian mulai skeptis akan apa yang terjadi dengan kami. Saat itulah
kalian mulai menebak-nebak, melakukan hal yang sedikit di luar nalar kami
(kalian sebut saja apa). Sedangkan kami mulai belajar bagaimana mencerna sebuah
kalimat penuh rasa menjadi tindakan nyata. Kami mulai jarang mengatakannya,
bukan berarti kami lupa makna kata tersebut.
Semakin
lama saat kami butuh ruang. Kalian semakin takut kehilangan. Takut-takut kalau
ruang yang kami cari adalah hati milik orang. Lagi-lagi harus kukatakan,
“bukan, sayang.”
Jelas
aku paham takut adalah cara kalian menginterpretasikan sebuah perhatian, cara
paling klasik No. 2 untuk bertutur sayang. Sebenarnya kita sudah sejalan, kan?
Cuma berbeda pemikiran. Dan lagi kita harus kembali ke topik saat kalian
mengedepankan perasaan dan kami mendahulukan pemikiran. Bukan berarti dalam
hubungan ini kalian nggak berpikir lho.
Semua
ini memang nggak akan pernah ada habisnya. Kenapa?
Karena
logika dan perasaan punya tempat masing-masing. Karena perhitungan nggak akan
pernah sanggup menjabarkan betapa rumitnya sebuah rasa. Karena merasa adalah
satu dari sekian banyak hal yang paling sulit untuk manusia palsukan.
Jadi,
logika dan perasaan mungkin adalah seteru abadi. Dan aku bisa seharian duduk di
kursiku hanya untuk menulis plus-minus mereka, dan mencari-cari mana
kurang-lebihnya hubungan kita. Tapi perlahan tanpa perlu kita merasa
kehilangan, sudah seharusnya kita berjalan berdampingan. Karena kehilangan akan
menghasilkan penyesalan yang membuat….kata dan usaha tak lagi bermakna.
Sejenak, membuat air mata menjadi cara kalian berbicara, dan membuat kami diam
tanpa makna. Percayalah, air mata adalah satu dari sekian banyak hal yang
paling kami takuti dalam sebuah hubungan.
Ini
semua tentang kita, kuasumsikan mirip pelangi yang muncul setelah proses
panjang hujan selesai. Bagaimana rintik air yang masih tersisa banyak di atas
sana membias saat bertemu cahaya. Aku tak berharap atau menuntutmu jadi
pelangi. Mereka cuma sesaat, dan tak mampu menunjukan keindahannya di malam
gelap. Tirulah mentari sejauh apapun bumi berpaling, segelap apapun sisi yang
tak mampu kau raih, cahayanya akan tetap tersampaikan walau kadang dengan cara
yang menyakitkan.
Image background by: pexel.com


0 komentar:
Post a Comment